MUHUAMAD NUR SAFI"I

Senin, 13 Desember 2010

MENANTI REGINE PULANG

PROLOG

Halo, nama saya Regine. Saya biasa dipanggil Egi, singkat dan kedengarannya enak di kuping. Saya lahir di dalam keluarga yang terbilang cukup segala-galanya. Dan pada mulanya keluarga kami utuh serta bahagia, namun Tuhan berkehendak lain saat Ia memanggil Mama lewat penyakit kanker yang dideritanya. Beberapa saat setelah Mama meninggal, Papa memutuskan menikah dengan perempuan lain, serta memboyong putri tunggalnya, Mayangsari. Itulah ihwal lantaknya hubungan saya dengan Papa. Pada saat itulah saya merasakan dunia ini tidak indah lagi. Dunia remaja yang penuh dengan bunga kini berubah menjadi neraka. Yang ada hanya pertengkaran dan pertengkaran. Saya tidak dapat menerima kehadiran ibu baru dan adik baru dalam keluarga kami. Bagi saya, ibu tiri adalah tiran dalam persepsi saya. Namun benarkah demikian?! Bahwa penderitaan itu selalu bermuasal dari orang lain?! Sungguh saya tidak tahu. Yang pasti, pertengkaran itu telah membuat kami begitu menderita. Saya, setelah lari dari keluarga kami, tinggal serumah dengan Tante Lin, adik almarhumah Mama di luar kota. Namun sayang, pergaulan bebas membuat saya terpuruk dan hal itu menambah penderitaan saya. Ya, Allah! Saya memang telah bergelimang dosa. Lalu saya kembali ke rumah Papa setelah menyadari satu hal bahwa, cinta dan kasih sayang bukanlah semata diturunkan dari langit, namun ia diciptakan oleh hati yang putih dan murni.
Ya, hati yang putih dan murni!
***
Tentang Mayangsari

Tak ada yang pernah tahu bagaimana getir kenangan itu.
Dibiarkannya airmata menitik setiap hal itu melintas mendadak dalam benaknya.
Dan tetap berharap, Regine akan datang dengan kedua tangan terpentang, lari ke arahnya lantas memeluknya.
Namun buliran waktu yang berdetak melalui himpunan detik seolah enggan menyapa. Hari demi hari. Bulan demi bulan. Semuanya berlalu tanpa terasa. Sudah dua tahun. Gadis itu tidak pernah datang. Menyimpan api dendam yang entah sampai kapan dapat padam.
Gadis itu baru juga genap tujuh belas
Beban hukuman yang disanksikan Papa semestinya belum pantas dipikulnya.
Dia sama sekali tidak sadar apa yang telah dilakukannya. Kehilangan orang yang sangat disayanginya memang telah melimbungkannya dalam lara berkepanjangan. Dia pun belum dapat menerima kasih sayang dari orang lain. Terlebih-lebih menyaksikan sepotong kasih dari Papa telah terbagi. Bukan lagi semata-mata untuknya!
Dia lari dengan membawa segumpal dendam. Terpuruk ke dalam kekhilafan yang tidak dapat dimaafkan. Tidak ada tempat lagi baginya untuk berpijak di dalam keluarganya sendiri, meski dia terlahir dari darah dan daging lelaki separo baya panutannya itu.
Dua tahun gadis itu menghilang. Pusaran waktu seolah menelannya. Dan tidak pernah memunculkannya kembali menyusuri kehidupan baru yang selama ini menjadi impiannya.
Lalu, ketika dia datang....
***

Dihentikannya laju mobil. Daerah Kuningan tampak lengang ketika dia menepikan mobil di bahu jalan. Metropolitan seolah lelap dibuai bayu. Gedung-gedung pencakar langit di sana tampak tertidur dengan penerangan yang temaram. Sesaat disandarkannya pelan kepalanya di atas kemudi mobil. Dibiarkannya semilir angin basah membasuh wajahnya lewat kaca jendela yang sedari tadi dibiarkan terbuka setengah. Udara masih menyisakan partikel-partikel air. Sesekali terdengar tirisan air hujan dari rerimbunan pohon di tepi jalan yang menerpa atap mobil. Sebagian menerpa kaca mobil dengan irama yang teratur.
Jakarta masih membasah ketika dia melajukan mobilnya secepat kilat tadi. Diikutinya suara hati tanpa tujuan, dan berhenti setelah tangisannya meledak. Dia lelah menanti.
Dua tahun lalu dia berpikir hari-harinya akan berbunga. Mama telah menemukan kebahagiaannya sendiri. Takdir seolah mempertemukannya kembali dengan lelaki sahabat semasa remajanya dulu. Lelaki yang bernama Abraham Hans Waworuntu itu mempersuntingnya. Sekian belas tahun sejak kematian ayah kandungnya, sungguh, dia tidak pernah dapat merasakan lagi kasih sayang seorang ayah. Kebahagiaan itu pun membuncah ketika dia mengetahui bakal memiliki seorang kakak. Seorang kakak perempuan yang akan mengawal dan membimbingnya menjalani hari-harinya yang panjang. Sebagai putri tunggal dari Wulandari Pranoto dan almarhum Gunardi Pranoto, memiliki seorang kakak perempuan merupakan karunia Ilahi yang tak terhingga.
Sekelebat kenangan silam itu mendengung di kepalanya. Ada ultimatum dari gadis ringkih itu sebelum segalanya lantak. Bara dalam sekam itu telah menjadi api, membakar dan menghanguskan semua impian yang telah dibangunnya selama itu.
"Papa kejam!"
"Papa melakukan hal itu karena Papa sayang sama Kak Egi."
"Tidak! Tidak, May! Papa tidak adil! Papa tidak pernah adil!"
Satu lagi helaan napas panjang ketika rangkaian kisah berulang dalam alur yang sama. Selalu saja begitu. Padahal, dia ingin gadis itu hadir seutuhnya dalam keluarga mereka. Hadir sebagai saudara, mengisi kekosongan hari-harinya yang lalu. Namun semua impiannya hanya menjelma menjadi kenangan maya ketika gadis itu tetap bersikeras dengan keputusannya. Tidak pernah menganggap dia dan Mama masuk sebagai bagian dari kehidupannya yang baru.
Dua tahun berlalu dengan cepat. Menanti gadis itu pulang hanyalah usaha yang sia-sia. Namun dia masih saja tetap menanti.
"Papa tidak mau punya anak durhaka seperti dia!"
"Papa tidak dapat menghukumnya seberat itu."
"Hukuman itu belum setimpal dengan tindakan keterlaluan yang telah dia lakukan!"
"Kak Egi putri kandung Papa!"
"Papa lebih baik tidak punya anak seumur hidup ketimbang harus menanggung malu!"
"Ta-tapi...."
"Papa yang salah. Papa tidak dapat mendidiknya dengan baik"
"Tapi...."
"Sejak Lusiana meninggal tiga tahun lalu, dia berubah drastis. Papa tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk mendidik anak kurang ajar itu. Ah, seandainya saja kanker itu...."
"Mama Lusiana sudah tenang di alam sana, Pa."
"Tapi, dia pasti akan sangat sedih bila melihat putri tunggalnya."
"Mama Lusiana akan jauh lebih sedih jika mengetahui Papa tidak pernah mau memafkan Kak Egi!"
"Ah seandainya saja Lusiana masih hidup, tentu dia dapat mendidik dan mengawasi anak itu. Dia terlalu manja sehingga...."
***
Semilir angin masih basah.
Masih terdengar lembut serangkaian lagu di gendang telinganya. Disandarkannya kepala ke jok mobil ketika 'Selamanya Cinta'-nya d cinnamons mengalun merdu dari frekuensi 102,2 FM di radio digital mobil. Dipejamkannya mata, takzim menyimak. Ada suara wadyabala Caesar meningkahi sebelum lagu tadi diputar di Prambors Jakarta. Lagu masih mengalun syahdu. Tidak dia matikan sejak dari garasi rumah tadi.
Pandangannya lurus mengarah ke jalan. Aspal masih membasah, tampak licin seperti kulit seekor ular raksasa yang sedang terpulas. Di tengah jalan sana pula sesekali hanya terlihat sekelebat cahaya lampu dari beberapa kendaraan yang lalu-lalang. Malam ini semuanya seperti membeku. Hatinya giris. Dingin angin malam masih menusuk-nusuk sampai ke tulang sumsumnya. Dia menggigil.
"Tapi, itu insiden, Pa!"
"Bukan insiden...."
"Tapi...."
"Bukan insiden kalau hal buruk yang dia lakukan itu merusak nama baik keluarga Waworuntu. Papa benar-benar malu!" Sebuah penegasan yang membungkam sederet perbendaharaan kalimatnya.
"Ke-kenapa, kenapa, Pa?! Kenapa Papa ti-tidak dapat memaafkannya sampai sekarang?!"
"Papa maafkan dia sampai seribu kali pun tidak dapat mengubah keadaan. Nama baik Waworuntu sudah kepalang hancur!"
"Papa! Sebegitu pentingkah nama baik keluarga sampai Papa tega mengusir dan tidak menganggap Kak Egi sebagai anak kandung Papa sendiri?!"
"Kamu jangan membela anak tidak tahu diri itu!"
"Bagi May, seburuk-buruknya Kak Egi, tapi dia tetap saudara May."
"Tidak ada tempat di hati Papa untuk anak perusak nama baik keluarga!"
"Kak Egi tidak sejahat itu, Pa. Kak Egi cuma khilaf!"
"Papa tidak dapat lagi mengetahui dan memilah perbuatannya. Apakah itu jahat atau tidak kalau terhadap ibunya sendiri dia tega..."
"Tapi, Mama sendiri sedari dulu sudah memaafkannya."
"Mamamu terlalu baik."
"Kak Egi masih belum dapat menerima Mama dan May pada waktu itu, Pa. Kak Egi sama sekali tidak bermaksud jahat. Itu hanya persoalan personal jealous. Seandainya May adalah Kak Egi, mungkin May juga akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Kak Egi."
"Lalu, apa perbuatan memalukannya itu juga bukan...."
"Pa-Papa...!"
"Hah, karma apa Papa hingga...."
Kepalanya masih menyandar di jok mobil. Matanya terpejam. Dia terisak, membiarkan butiran-butiran bening itu mengaliri pipinya dengan hangat.
***

Dia ingat bagaimana bencinya gadis itu terhadapnya, terlebih-lebih pada Mama. Penolakannya yang sarkartis terhadap mereka membuat Papa Abraham Hans Waworuntu murka. Bukan hal terpuji bila seorang anak tega memalukan ibunya sendiri di depan banyak orang justru pada saat momen paling bahagia dalam hidupnya.
"Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu serta tamu undangan yang saya hormati. Hari ini adalah resepsi pernikahan ayah saya yang tercinta dengan wanita yang bernama Wulandari ini. Saya harap Anda sekalian dapat merasakan dan merayakan kebahagiaan mereka dengan gembira. Tapi semua itu bukan merupakan kebahagiaan saya. Wanita ini, Wulandari beserta putrinya Mayangsari, telah merusak ketenangan saya selama ini. Kenapa? Karena dengan begitu cepatnya mereka dapat menarik perhatian dan kasih sayang ayah saya terhadap almarhumah ibu saya, Maria Lusiana Mandagi yang belum juga genap setahun meninggal! Dan hal yang mereka lakukan itu bagi saya sangat tidak bermoral, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu!"
Dan bukan sekali-dua dia menumpahkan kekesalannya terhadap ibu dan adik barunya yang berpredikat tiri itu. Setiap hari kedua wanita itu diintimidasi seperti terpidana mati. Rasa tidak sukanya itu diaplikasikannya dengan vulgar. Sehingga pada suatu ketika himpunan kesabaran dari lelaki separo baya itu runtuh tak terbendung.
"Pa-Papa me-menampar Egi?!"
"Kamu sudah keterlaluan!"
"Pa-Papa tidak adil! Papa lebih menyayangi kedua orang luar itu ketimbang anak kandung sendiri! Papa kejam!"
Namun naluri keibuan seorang wanita memang tak pernah lekang oleh waktu. Sang ibu tiri tidak marah. Memaafkannya dengan tulus. Dan membalikkan persepsi sepanjang zaman tentang ibu tiri yang jahat dan kejam. Dibuktikannya semua itu dengan kebesaran jiwanya. Disayanginya gadis itu selayaknya menyayangi putri tunggalnya sendiri, Mayangsari Pranoto. Dipeluknya tubuh lelaki separo baya itu kala kalap hendak memukul kembali putri kandungnya sendiri. Dengan berlinang airmata dia memohon agar lelaki separo baya itu mengurungkan niatnya.
"Aku mohon jangan pukul Egi lagi, Bang!"
"Anak kurang ajar ini akan semakin menjadi-jadi kalau tidak dikasih pelajaran!"
"Tapi Egi tidak bermaksud...."
"Jangan halangi aku, Wulan!"
Sayang gadis itu tidak tergugah. Hatinya masih sekeras batu. Dan pemberontakan hati gadis itu terus berlanjut dan menjadi-jadi setelah Papa, orang yang paling dicintainya pun berpaling mengantipati. Gadis itu berubah menjadi merpati liar. Narkoba dan dugem menjadi aplikasi kekecewaannya. Sampai suatu ketika pergaulan bebas tak dapat dihindarinya sehingga mencorengkan arang aib bagi keluarga. Dia tersuruk. Tak ada pilihan lain kecuali hengkang dengan menyimpan segumpal dendam yang membara.
"Ja-jangan pergi, Kak Egi!"
"Papa tidak menginginkan saya lagi!"
"Suatu saat Papa pasti dapat memaafkan Kak Egi."
"Percuma kalau di matanya seorang Regine merupakan pencoreng dan perusak nama baik keluarga."
"Mama sudah berusaha membujuk Papa."
"Terima kasih untuk kebaikan kalian. Tapi, sedari dulu juga saya tidak pernah meminta bantuan kalian. Jadi...."
"Kak Egi...."
"Sudahlah, May. Kalian hanya buang-buang waktu saja."
"Ta-tapi...."
"Saya memang pantas diusir. Saya bukan anak yang berbakti."
"Tapi, May dan Mama tidak ingin Kak Egi pergi. Kami sayang sama Kak Egi!"
Tapi gadis itu tetap melangkah. Tangisan Mama dan adik tirinya sama sekali tidak menggugah hasratnya untuk meninggalkan rumahnya yang megah selaksana istana. Digebahnya semua jeritan yang terdengar memilukan. Meski nuraninya terketuk atas kebaikan dan ketulusan kasih sayang dari orang-orang yang pernah dipermalukannya itu, namun bara di hatinya telah kepalang membakar. Dia benci semuanya termasuk kepada dirinya sendiri. Diayunkannya langkahnya secepat mungkin agar semuanya lekas berlalu.
Di luar seorang pemuda telah menantinya!
***
Bik Sum yang memberitahukannya secara diam-diam pagi tadi sebelum berangkat ke sekolah. Katanya, ketika sedang membersihkan taman pagi-pagi sekali tadi, dia bertemu dengan Non Egi di muka gerbang rumah. Kelihatannya ada hal penting yang hendak disampaikan. Wanita tua yang telah mengabdi pada keluarga Waworuntu selama puluhan tahun itu juga mengatakan agar kedatangannya jangan dikatakan pada siapa-siapa terutama Papa. Dia juga minta untuk bertemu di suatu tempat yang sudah ditentukannya sore nanti.
Ketika bertemu dengannya, tidak ada pelukan hangat dari seorang kakak yang selama ini diimpi-impikannya. Hanya ada sambutan senyum tawar dengan sepasang mata cekung yang menatapnya hampa.
"Papa masih belum dapat menerima saya!"
"Sudah dua tahun...."
"Mungkin seratus tahun pun Papa...."
"Kak Egi!"
"Kalau bukan karena Rio...."
"Tidak! Kak Egi mesti pulang. Papa pasti akan memaafkan Kak Egi. Mama juga sedih!"
"Ma-Mama?!"
May terkesiap. Itu impiannya selama ini. Regine menyebut Mama!
"Kembalilah, Kak Egi. May mohon. Mari bangun lagi keluarga kita dari awal."
"Sudah terlambat."
"Ta-tapi"
"Papa tidak bakal menerima Rio!"
May memejamkan matanya sesaat ketika kerongkongannya mendadak memerih.
Dua tahun Regine berkalang derita dikarenakan kekerasan hati Papa. Hatinya gamang. Diliriknya bayi lima belas bulan yang sedang tertidur di pangkuan ibu mudanya.
Sebersit rasa iba menikam ulu hatinya. Bayi ringkih itu sama sekali tidak berdosa.
"Mama sudah berulang kali memohon pada Papa."
"Tapi Rio...."
"Rio tidak berdosa."
"Sudah seminggu dia panas begini. Saya takut sekali, May."
"Kita bawa dulu Rio ke dokter."
"Saya sudah membawanya ke Puskesmas."
"Tapi Rio membutuhkan perawatan yang lebih intensif, Kak Egi."
"Sa-saya...."
"Kak Egi jangan berpikir macam-macam lagi. Rio perlu segera diberi perhatian. Kelihatannya dia kurang gizi."
Ibu muda itu mengangguk pelan. Wajahnya pasi. Kecantikan remajanya telah memudar disaput penderitaan.
***
"Saya minta maaf, May!"
May membeliak. Dipandanginya lamat sepasang mata yang berkaca-kaca di seberang meja. Kalimat yang barusan didengar itu bagai litani. Gemanya menyentuh sampai ke lubuk hati. Regine telah lahir baru! Dia serasa tak percaya.
"Saya sudah menyakiti hati kalian."
"Ti-tidak. Kak Egi tidak boleh bilang begitu!"
"Tapi saya memang tidak pantas diampuni. Jadi...."
"Biar bagaimanapun juga Kak Egi tetap saudara May."
"Ka-kamu baik!"
"Kami merindukan Kak Egi."
Ibu muda itu menggeleng. Airmatanya menitik. Diusapnya kepala mungil bayinya dengan penuh perhatian tatkala bayi itu terbangun dan menangis keras. Beberapa tamu di McDonald's yang mereka kunjungi itu menoleh karena terkejut, tapi meneruskan acara makan mereka yang terganggu lima detik kemudian.
"Darmawan...?"
"Ke mana dia, Kak Egi?"
"Saya tidak tahu. Selama ini saya memang telah dibutakan oleh cinta. Kami sebetulnya masih terlalu dini untuk membentuk rumah tangga. Segalanya masih prematur. Kami masih anak-anak!"
"Selama ini Kak Egi ke mana, sih?"
"Seperti juga Papa, orangtua Darmawan juga menolak kami. Hei, orangtua gila mana yang ikhlas menerima anaknya yang bertitel MBA, Married by Accident?" Kakak tirinya itu tertawa. "Waktu itu, kami bingung mau ke mana. Darmawan masih menganggur. Jangankan kerja, SMA-nya saja amburadul. Tapi, untung Darmawan punya saudara di Bandung. Mereka menampung kami untuk sementara sampai Darmawan mendapat pekerjaan, dan mengontrak rumah kecil di sana."
"Lalu...."
"Setahun belakangan ini sikap Darmawan mulai berubah. Hampir setiap hari kami bertengkar. Dari masalah sepele sampai masalah keuangan yang menjadi momok menakutkan bagi kami. Tidak ada keharmonisan lagi dalam rumah tangga!"
"Kenapa, Kak Egi?!"
"Saya tahu dia frustasi karena cita-citanya untuk bersekolah tinggi tidak kesampaian. Tapi, itu juga karena kesalahan dia. Sebetulnya cinta kami dulu tidak didasari dengan ketulusan. Kami tidak pernah memikirkan akibat buruk yang bakal terjadi dengan masa depan kami. Terus saja bermain api hingga terbakar. Sekarang apa boleh buat, May. Nasi sudah jadi bubur. Kami meraih gelar MBA duluan."
"Ka-kasihan Rio!"
"Saya bingung, May. Darmawan depresi. Dia tidak memedulikan kami lagi. Ketika Rio sakit keras pun, dia malah cuek dan apatis. Sekarang, dia ke mana juga saya tidak tahu."
Bayi itu masih saja terus menangis ketika dilihatnya kakak tirinya itu menghela napas panjang.
"Pulanglah bersama kami lagi, Kak Egi!"
"Saya malu!"
"Dua tahun kami menunggu kepulangan Kak Egi."
"Mama pasti membenci saya."
"Mama tidak pernah mendendam. Kak Egi masih ingat tidak, waktu Papa memukul Kak Egi, Mamalah yang berusaha keras menahannya. Mama sayang sama Kak Egi seperti menyayangi May."
"Ta-tapi, saya telah menyakiti hati Mama dengan mempermalukannya di depan umum."
Regine menundukkan kepalanya.
Suaranya berhenti di tengah tenggorokan. Pelupuk matanya memanas. Dihirupnya Coca-Colanya tanpa selera.
"Tidak, Sayang."
Ada suara lembut yang mengalun di belakangnya. Tampak seorang wanita berdiri anggun mengangguk pelan ke arahnya.
"Ma-Mama�!"
Regine kontan berdiri dan menyambut tubuh wanita itu. Dijatuhkannya kepalanya di bahu wanita itu dengan airmata berlinang.
"Mama tidak pernah membenci Egi. Mama sedih Egi pergi. Mama harap Egi mau tinggal bersama kami lagi."
"Ma-maafkan Egi, Ma!"
May berdiri dengan mata membasah. Inilah impian yang telah lama dinanti-nantikannya. Kini terwujud dan menjadi kenyataan. Regine menerima mereka seutuhnya sebagai bagian dari hidupnya yang baru.
Di luar sana, di balik dinding kaca resto, dilihatnya Bik Sum berdiri mematung dengan meneteskan airmata haru. Pasti wanita tua itu yang membocorkan rahasia pertemuannya dengan Regine.
***
"Papa memang kejam!"
May berlari setelah menjerit histeris. Matanya memanas. Dia sama sekali tidak menyangka lelaki itu tetap bertahan dengan keputusannya. Tidak pernah dapat memaafkan kesalahan putri kandungnya sendiri! Dan atas nama martabat keluarga pula, dia lebih rela kehilangan buah hatinya untuk seumur hidup!
Dilajukannya mobil menyusuri jalan-jalan Jakarta yang membasah. Dia marah terhadap dirinya sendiri, gagal menggugah kekerasan hati Papa. Perjuangannya menanti selama ini akhirnya kandas atas nama baik keluarga yang telah tercoreng. Dia menangis untuk Regine.
"Ma-maafkan May, Kak Egi! Pa-Papa ti-tidak...."
"Sudah saya duga."
"Ta-tapi?"
"Ini hukuman, May. Mungkin juga ini merupakan suratan hidup yang mau tidak mau harus saya jalani. Percuma menyesali keputusan Papa. Semua itu merupakan konsekuensi kesalahan besar yang pernah saya lakukan. Kamu jangan ngotot membela saya lagi. Jangan-jangan malah kamu yang diusir sama Papa."
"Ta-tapi, Rio?"
"Don't worry about me and Rio, May. Kami tidak apa-apa, kok. Mama memaksa dan bersikeras mensubsidi susu untuk Rio serta jatah ransum untuk saya, meskipun saya menolaknya mati-matian. Untuk sementara kami berdua tinggal di bekas rumah kalian yang dulu. Mama sudah menyiapkan semuanya. Katanya, saya jangan berpikir macam-macam kecuali konsentrasi merawat Rio. Katanya juga, setiap hari Mama akan membujuk Papa sampai Papa dapat menerima dan memaafkan saya."
Sampai saat ini Regine memang belum dapat pulang karena kekerasan hati Papa. Tapi dia bahagia karena impiannya sudah terwujud. Menjadi bagian dari hidup Regine. Sebagai adik, saudara perempuannya yang merupakan anugerah tak ternilai.
Ada sekelebat cahaya kilat dari langit yang membuyarkan semua lamunannya. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan kiri. Sudah jauh larut malam. Besok pagi dia mesti ke sekolah. Mama juga pasti mencemaskannya. Dia harus segera kembali.
Dan tetap menanti Regine pulang. ©

TAMAT
Sumbar http://www.cerpen.com

0 komentar:

Posting Komentar